
Temperature global terus meningkat setiap harinya sehingga memicu munculnya fenomena kebakaran hutan, hujan lebat, permukaan es di kutub utara maupun selatan mencair dan berujung dengan naiknya permukaan air laut, serta masih banyak fenomena ekstrim lainnya yang dapat mengganggu kehidupan di bumi. Nasa telah membuktikan hal-hal tersebut dengan cara seperti meneliti inti es yang ada di Greendland, Antartika, serta gletser di pegunungan tropis, dan hasil yang didaptkan menunjukan bahwa iklim bumi sangat merespon perubahan tingkat gas yang dihasilkan oleh rumah kaca.

Data dari World Research Institute (WRI) menunjukan bahwa ada 10 negara yang menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca. Urutan pertama ditempati oleh Tiongkok karena mampu menghasilkan Karbon dioksida ekuivalen (MtCO2e) sebesar 12.3999 juta metrik ton. Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk kedalam daftar tersebut, emisi tersebut berasal dari penggunaan lahan dan kehutanan, dan emisi bahan bakar fosil. Pemanasan yang terus menerus terjadi ini selain memberikan dampak buruk pada keadaan bumi juga berdampak buruk terhadap ketahan pangan karena banyak tanah yang mengalami degradasi.
Pada saat ini, sudah terdapat beberapa teknologi baru yang dapat memperlambat krisis iklim yang telah terjadi terutama jika sektor pemerintah, swasta, masyarakat, serta para akademisi bekerjasama dalam penerapannya. Beberapa teknologi tersebut ialah :
- Carbon Capture Technology

Teknologi ini mampu menghilangkan kadar CO2 dari atmosfer. Carbon Capture ini diperkirakan dapat mengurangi 14% emisi gas rumah kaca yang diperlukan untuk mengurangi perubahan iklim pada tahun 2050 mendatang.
2. Green Cement

Seperti yang kita ketahui bahwa semen memiliki banyak dampak buruk bagi lingkungan, termasuk 4 miliar ton emisi karbon dan polusi air. Green Cement sendiri adalah sebuah inovasi yang ramah lingkungan karena mampu meminimalisir kadar CO2 . Sement ini mampu menyerap gas tersebut sehingga tidak terpancar kepermukaan bumi dengan inovasi ini diperkirakan juga mampu mengurangi kadar karbon sebesar 1,4 miliar ton pertahunnya.
3. Floating Solar Panels

Panel surya adalah sebuah teknologi yang mampu menyerap cahaya matahari lalu merubahnya menjadi energi listrik. Cahaya matahari yang terserap oleh sel silikon dari panel surya akan mengakibatkan elektron lepas dan mengalir dalam semikonduktor. Elektron yang mengalir merupakan energi listrik dan dialirkan ke terminal positif dan negatif. Satu sel surya dapat menghasilkan tegangan DC sebesar 0,5-1 volt dan kemudian di konversi melalui inverter untuk menghasilkan arus AC. Setelah itu, beberapa sel panel surya yang dihubungkan secara seri bisa digunakan untuk menyalakan peralatan elektronik yang kita gunakan sehari-hari. Floating Solar Panels pada dasarnya sama dengan Solar Panels umumnya, yang membedakannya hanyalah tempat pelatakannya yakni dipermukaa air, hal ini menguntungkan daerah yang hanya mempunyai sedikit lahan untuk memasangnya.
4. Tidal Energy

autan mampu menciptakan energi yang cukup melalui gelombangnya untuk menghasilkan 64% listrik pertahunnya. Cara kerja teknologi ini sama dengan kincir angina yang ada didaratannya, pergerakan ombat laut yang terjadi setiap saat mengakibatkan terjadinya gaya yang mampu mendorong turbin turbin sehingga mampu menghasilkan listrik. Teknologi ini sangat cocok digunakan di Indonesia karena hampir sebagian besar wilayah negeri ini adalah lautan.
Seluruh individu yang ada dipermukaan bumi bisa menghasilkan emisi setiap harinya, sebagai negara yang mempunyai berjuta-juta penduduk maka Indonesia menyadari bahwa negara ini berandil besar juga terhadap krisis iklim yang sedang berlangsung dikarenakan oleh mobilitas seluruh penduduknya setiap hari, oleh karena itu kita semua harus menanamkan rasa kepedulian terhadap bumi sendiri dan mulai mencoba untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mampu mengurangi efek dari fenomena ini